Ketua Umum Organisasi Adat Makatana Minahasa, Alvis Metrico Sumilat, menyampaikan kritik pedas terhadap Kapolres Bitung, AKBP Albert Zai, SIK, MH, dan Kasat Reskrim Iptu Gede Indra Asti, A.P., S.Tr.K., S.I.K., M.H., yang dinilai gagal memberikan kepastian hukum. “Ini jelas-jelas bentuk kelalaian yang tidak bisa dibiarkan. Sudah terlalu lama laporan ini mengendap tanpa ada tindak lanjut, dan itu mencerminkan betapa lemahnya komitmen mereka dalam menegakkan hukum,” kata Alvis. Ia mendesak Kapolda Sulawesi Utara, Irjen. Pol. Dr. Roycke Harry Langie, S.I.K., M.H., untuk segera mengambil tindakan tegas dan melakukan evaluasi terhadap pejabat-pejabat yang tidak produktif.
Tidak hanya dari pihak Makatana Minahasa, desakan juga datang dari Ketua Umum Ormas Adat Permesta Sulawesi Utara, Jhonson Wullur, yang mengaku geram melihat lambatnya penanganan kasus ini. Menurutnya, penundaan ini menimbulkan kecurigaan adanya permainan di balik layar yang merugikan masyarakat. “Sudah sepantasnya Kapolres dan Kasat Reskrim Bitung dicopot jabatannya. Mereka sudah membuktikan ketidakmampuan dalam menjalankan tugasnya dan memberikan pelayanan hukum yang baik,” ucap Jhonson dengan nada tegas. Ia juga menyinggung adanya pemberitaan tentang praktik ilegal solar yang begitu dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari Polres Bitung, menambah daftar panjang ketidakberesan di institusi tersebut.
Apalagi Kasus penyerobotan tanah ini melibatkan tanah bersertifikat hak milik nomor 135 dan 136 yang dilaporkan oleh Herman Loloh. Kejadian bermula pada akhir 2020, ketika pimpinan PT MSM/PT TTN, David Sompie, meminta keluarga Herman untuk menyelesaikan kewajiban agar sertifikat tersebut bisa dibayar oleh perusahaan. Namun, setelah keluarga membawa sertifikat untuk proses pembayaran, mereka justru menemukan tanah mereka telah dirusak dan dijadikan tambang oleh perusahaan, tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pemilik. David Sompie berdalih bahwa perusahaan telah salah membayar tanah tersebut kepada pihak lain, yaitu Devie Ondang, dan menolak melakukan pembayaran ganda kepada Herman Loloh.
Namun, dalih tersebut runtuh setelah Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa tanah milik Devie Ondang berada di lokasi berbeda dengan milik Herman Loloh. Kendati demikian, PT MSM/PT TTN tetap berupaya untuk mengklaim tanah tersebut melalui pengukuran ulang, namun hasil pengukuran BPN kembali menegaskan bahwa klaim tersebut tidak sah. Sayangnya, meskipun fakta-fakta ini sudah jelas, Polres Bitung belum melakukan proses hukum lebih lanjut, menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen mereka dalam menjalankan tugas.
Kasus ini menjadi cerminan buruknya penegakan hukum di Bitung, di mana ketidakmampuan Polres untuk menyelesaikan masalah hukum justru menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Ketidakseriusan dalam menangani laporan dugaan penyerobotan tanah ini harus menjadi perhatian serius Kapolda Sulut. Desakan untuk mencopot Kapolres dan Kasat Reskrim Bitung semakin menguat, sebagai wujud tuntutan agar institusi kepolisian kembali menjalankan fungsi mereka dengan benar dan adil. Langkah bersih-bersih di internal Polres Bitung harus segera dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Harapannya, Kapolda mampu mengambil tindakan nyata yang tidak hanya membersihkan institusi dari oknum-oknum tak bertanggung jawab, tetapi juga mengembalikan martabat dan fungsi kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Nety N alung/withteam