Dugaan galian ilegal ini tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, tetapi juga memicu polusi udara yang mengganggu kesehatan masyarakat setempat. Debu dari aktivitas penambangan tersebut mencemari udara dan dapat memicu berbagai penyakit pernapasan bagi penduduk, terutama anak-anak dan lansia yang rentan. Kondisi ini membuat investigasi oleh media menjadi sangat penting demi memastikan kebenaran atas kerusakan lingkungan yang terjadi serta dampaknya terhadap masyarakat.
Namun, ketika tim media mencoba melakukan klarifikasi terkait aktivitas penambangan tersebut kepada Ibu Tutik, mereka justru diarahkan untuk meminta konfirmasi kepada pihak yang disebutnya sebagai "Bayangkari." Saat tim media bertanya lebih lanjut tentang siapa yang dimaksud dengan "Bayangkari," Ibu Tutik enggan menyebutkan nama secara jelas. Bahkan, ketika tim media hendak mengambil dokumentasi berupa foto bersama sebagai bukti kunjungan, Ibu Tutik melakukan tindakan yang tak terduga dengan merampas handphone milik awak media. Setelah itu, awak media diusir dari lokasi dan handphone tersebut baru dikembalikan ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Tindakan tersebut jelas melanggar hak awak media yang dilindungi oleh undang-undang. Perlu diketahui, berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa:
"Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
Dalam konteks ini, pasal tersebut mengatur bahwa media memiliki kebebasan dalam menjalankan fungsi jurnalistik, termasuk dalam melakukan investigasi dan mengungkap fakta yang terjadi di lapangan. Setiap bentuk intimidasi atau penghalangan, apalagi perampasan alat kerja seperti handphone, adalah pelanggaran serius yang tidak dapat ditolerir.
Selain itu, jika tindakan Ibu Tutik terbukti melibatkan intimidasi fisik atau ancaman, maka tindakannya dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan dan Pengancaman yang berbunyi:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Dalam hal ini, perampasan alat kerja berupa handphone, yang digunakan awak media untuk mendokumentasikan fakta di lapangan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum. Apalagi, intimidasi semacam ini tidak hanya berdampak pada hak media, tetapi juga mengancam kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi negara.
Bagi siapapun yang merasa dirugikan oleh investigasi media, seharusnya menempuh jalur yang sesuai dengan hukum, seperti menyampaikan keberatan melalui Dewan Pers atau lembaga terkait lainnya. Tindakan main hakim sendiri dengan merampas barang atau melakukan intimidasi justru akan memperburuk situasi dan mencederai kebebasan pers yang diatur oleh Undang-Undang.
Tindakan ini juga membuka pertanyaan besar tentang dugaan keterlibatan oknum tertentu dalam melindungi aktivitas galian ilegal yang sangat merugikan lingkungan dan masyarakat. Mengingat peran penting media dalam mengawasi dan mengungkap kasus-kasus seperti ini, upaya apapun untuk menghalangi investigasi hanya akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar terhadap adanya praktik-praktik ilegal di lapangan.
Masyarakat luas perlu diberikan informasi yang akurat dan transparan terkait dampak lingkungan dari kegiatan penambangan pasir kuarsa ini. Media memiliki tugas dan tanggung jawab moral untuk menyampaikan fakta demi kepentingan publik. Segala bentuk intimidasi, perampasan, dan penghalangan terhadap kerja jurnalistik harus diusut tuntas oleh pihak berwenang agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Pasal Terkait Galian Pasir Kuarsa Ilegal
Kegiatan penambangan atau pencucian pasir kuarsa yang dilakukan secara ilegal tanpa izin resmi tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Tindakan tersebut bisa dijerat dengan berbagai undang-undang, di antaranya adalah:
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
Pasal 158 menyebutkan: "Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."
Artinya, kegiatan penambangan pasir kuarsa yang dilakukan tanpa izin resmi merupakan tindak pidana dan bisa dikenakan hukuman berat.
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Pasal 109 menyebutkan: "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)."
Kegiatan pencucian pasir kuarsa yang mencemari lingkungan, apalagi tanpa memiliki izin lingkungan, juga melanggar undang-undang ini dan bisa dijerat dengan hukuman pidana serta denda besar.
3. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama yang terkait dengan pencucian pasir yang menghasilkan limbah dan polusi udara tanpa pengelolaan limbah yang baik, termasuk melanggar ketentuan dalam peraturan ini.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 406 tentang Perusakan Lingkungan
Pasal 406 menyatakan: "Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat tak dapat dipakai, atau menghilangkan barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Dalam konteks penambangan ilegal yang menyebabkan kerusakan lingkungan, pelaku dapat dijerat dengan pasal ini karena merusak sumber daya alam yang menjadi milik bersama dan menyebabkan kerugian bagi masyarakat sekitar.
Dengan demikian, pelaku penambangan dan pencucian pasir kuarsa ilegal, yang tidak memiliki izin dan menyebabkan kerusakan lingkungan, dapat dijerat dengan beberapa undang-undang di atas. Aparat penegak hukum diharapkan segera bertindak tegas terhadap kegiatan ilegal ini untuk melindungi lingkungan serta hak-hak masyarakat yang terdampak.
Pihak berwenang harus segera melakukan penyelidikan terkait kasus ini dan memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, baik terhadap pelaku intimidasi maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan galian ilegal yang diduga merugikan masyarakat dan merusak lingkungan hidup. (Tim)