Berdasarkan tulisan rekan Abdul Aziz tersebut, dalam tulisan ini kita akan membahas betapa bangsatnya oknum petinggi PWI. Mereka memanfaatkan jabatan untuk menjadikan dirinya seolah punya ‘kasta lebih tinggi’, dengan menjadi gerombolan koruptor dan menjual integritas kewartawanan. Kita juga akan membahas urgensi perubahan dalam organisasi dan intern Dewan Pers untuk melindungi integritas jurnalis dan kebebasan pers.
Di awal tulisannya, Abdul Aziz membuka tabir kasus korupsi yang menimpa organisasi wartawan tertua di Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tulisan itu menyadarkan kita bahwa dalam organisasi yang dibentuk untuk melindungi kepentingan umum dan menjunjung tinggi integritas jurnalis, justru ada oknum yang memanfaatkan jabatannya demi keuntungan pribadi.
Penulis merinci betapa kasta PWI seolah-olah lebih tinggi daripada para wartawan lainnya. Di beberapa dinas pemerintahan misalnya, kantor-kantor dinas memasang tulisan "Hanya Pemegang KTA PWI yang Boleh Masuk". Hal ini juga jelas terlihat dari penampilan para anggota PWI yang merasa lebih superior daripada wartawan yang tidak tergabung di PWI.
Abdul Azis mengeksplorasi fakta bahwa korupsi di tubuh PWI pusat tidak main-main, yaitu dalam jumlah bermilyar-milyar rupiah. Bahkan, dia juga menyitir bahwa para bangsat PWI ini menjadi pelindung para koruptor di berbagai level pemerintahan.
Kita melihat bahwa para oknum anggota PWI ini disebut sebagai bajingan, super bangsat, dan penghancur negara Republik Indonesia oleh masyarakat yang geram terhadap kehadirannya. Penulis memaparkan betapa para oknum anggota PWI ini hanya bersorban nama islami tetapi tidak lebih dari maling tengik.
Abdul Aziz menggambarkan figur wartawan Kompas, Hendri Ch Bangun, mantan Wakil Ketua DP yang merupakan Ketua Umum PWI, sebagai dedengkot bajingan koruptor karena terbukti melakukan kejahatan korupsi uang rakyat miliaran rupiah. Di sini, kita mengeksplorasi fakta bahwa rencana mengkorupsi uang hibah BUMN yang digawangi Erick Tohir adalah bagian dari rekayasa Ketua Umum PWI peternak koruptor Hendry Ch Bangun si dedengkot bajingan koruptor itu.
La, dalam tulisannya Abdul Aziz menegaskan urgensi perubahan dalam organisasi PWI dan pembinanya, Dewan Pers (DP). PWI dan DP harus diberantas sebagai organisasi yang telah merusak integritas jurnalis dan kebebasan pers. Penulis merujuk pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa pers bertugas memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Di bagian akhir, penulis itu mengajak organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan elemen bangsa lainnya untuk melaporkan temuan-temuan kejahatan terstruktur dan masif yang dilakukan PWI atas dana hibah BUMN. Artikel tersebut menuntut untuk mengadili dan memenjarakan para koruptor. Penulis ini menekankan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menuntut pengembalian hasil kejahatan korupsi para gerombolan koruptor tersebut, tapi juga memproses hukum mereka semua.
Kini, hampir tak ada lagi yang dapat diharapkan dari organisasi pers uzur di Indonesia itu untuk kemajuan bangsa. Organisasi pers yang semestinya menjadi juru penerang bagi jalan sebuah bangsa telah berubah menjadi penjarah dan penggarong uang rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pada poin ini, PWI tidak lebih baik dari kelompok warga lainnya. PWI mengalami krisis integritas oleh ulah pengurus dan anggotanya sendiri. Bahkan, PWI kini berada pada kasta paling rendah dan buruk di mata masyarakat. Mereka adalah koruptor bajingan berbaju wartawan tanpa harga diri dan martabat sama sekali. (Panca)